Maret 28, 2024

Ada banyak suku dan etnis beragam dan bertempat tinggal di berbagai penjuru Nusantara.

Masing-masing suku memiliki keunikan yang otentik beserta kearifan lokal yang menyatu dalam karakter atau identitas yang dimiliki.

Di wilayah Indonesia timur, khususnya di Pulau Seram, Maluku ada salah satu suku yang sejak dahulu bertempat tinggal di wilayah utara pulau. Mereka adalah Suku Huaulu yang rumah adatnya menyatu dengan alam.

Untuk menuju ke tempat tinggal mereka, akses jalannya cukup sulit dan penuh kerikil tajam. Suasananya pun masih relatif sepi.

Baca juga: Bambu Gila, Permainan Tradisional Masyarakat Maluku yang Magis

Masih belum terbuka dengan modernisasi, tapi bisa menerima kunjungan orang dari luar

Keunikan Suku Huaulu, Rumah Adatnya Menyatu dengan Alam

(foto: indonesiakaya)

Suku Huaulu merupakan suku di Maluku yang termasuk penduduk asli, sehingga dihormati oleh penduduk d Pulau Seram.

Meskipun sering disebutkan bahwa mereka dahulu adalah kanibal, tapi kenyataannya hal tersebut sudah tidak terlihat di zaman sekarang.

Justru mereka terlihat sebagai pribadi ramah dan sangat menghargai alam sekitar.

Suku Huaulu selama ini memang bisa dibilang jauh dari modernisasi, tapi mereka cinta damai dan bisa menerima orang yang mau mengenal lingkungan mereka dengan lebih dekat.

Saat ada kunjungan orang luar, biasanya orang penting di desa akan mengajak untuk berkumpul di baileo yang berbentuk seperti rumah panggung.

Baileo merupakan rumah adat yang menyatu di tengah alam bebas dan menjadi lokasi pertemuan di desa.

Rumah adatnya dianggap sakral sehingga untuk mendirikannya harus melalui upacara adat. Konon, ada salah satu ritual yang sedikit mengerikan.

Di setiap baileo yang dibangun ada tengkorak manusia yang dikubur di setiap tiang penyangganya.

Butuh usaha ekstra untuk bisa memasuki wilayah desa dan jalannya juga melewati hutan

Keunikan Suku Huaulu, Rumah Adatnya Menyatu dengan Alam

(foto: indonesiakaya)

Untuk menuju ke daerah yang dihuni Suku Huaulu, maka harus melewati jalan Trans Seram. Untuk yang membawa mobil harus menyetir dengan hati-hati.

Jalan sepanjang 3 km adalah daerah pedalaman hutan yang sepi dan tidak bersahabat.

Selain suasananya panas terik, kerikil-kerikil tajam di hamparan tanah dan jalanannya juga menghadang. Butuh kekuatan ekstra untuk bisa melangkah ke sana.

Setelah menyetir mobil sejauh 3 km, ternyata masih perlu jalan kaki 1 km lagi sampai tiba di Desa Huaulu yang pertama, yakni tepat di lokasi pintu masuk di jalur pendakian Gunung Binaiya.

Saat memasuki desa, ada satu keunikan yang terlihat dari penampilan penduduknya. Laki-laki dewasa di sana biasa kain berwarna merah di kepala yang kemudian disebut kain berang.

Sejak dulu kain berang wajib dipakai sebagai ciri-ciri atau tanda seseorang sudah dewasa.

Baca juga: Asal Usul Kata Preman, Dulunya Memiliki Makna yang Positif

Sudah ada bangunan sekolah, tapi anak-anaknya belum banyak yang mengenyam pendidikan

Keunikan Suku Huaulu, Rumah Adatnya Menyatu dengan Alam

(foto: indonesiakaya)

Meskipun penduduknya masih aktif, tapi suasana desanya masih tampak sepi. Ada salah satu bangunan sekolah didirikan di dekat pintu gerbang desa, tapi tidak terlihat seorang murid pun di sana.

Ternyata bangunan sekolahnya dibangun pemerintah, tapi desanya kurang tenaga pengajar.

Penduduk desa juga merasa kesulitan ketika harus mengirim anak-anak ke sekolah karena butuh menempuh perjalanan 5 km dengan jalan kaki setiap hari.

Sejak kecil anak-anak sudah diajak ibu-ibunya yang bekerja di kebun. Tidak seperti masyarakat pada umumnya, di Suku Huaulu biasa bekerja di kebun adalah wanita, sedangkan prianya berburu untuk mencari makanan yang akan dikonsumsi sekeluarga.

Masyarakatnya relatif damai, menghormati alam, dan taat kepada hukum adat

Keunikan Nusantara, Rumah Adatnya Menyatu dengan Alam

(foto: indonesiakaya)

Kondisi desa yang sepi biasanya terlihat di siang hari karena memang 80% penduduk desa sedang pergi bekerja. Sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah bertani, berkebun, dan berburu.

Biasanya hasil dari lahan mereka dijual ke pasar kota untuk menghasilkan sejumlah uang untuk kehidupan sehari-hari.

Di tengah aktivitas sehari-hari yang sederhana dan menghormati alam, masyarakatnya juga masih cenderung taat pada hukum adat.

Kehidupannya relatif damai dan menjunjung tinggi nilai spiritual yang diwariskan leluhur.

Kehidupan mereka bisa menjadi contoh kearifan lokal yang masih ada di Indonesia Timur dan layak dijaga dan diperkenalkan ke anak cucu di masa depan.