Maret 28, 2024

Tidak banyak suku di dunia yang punya sistem penanggalan sendiri. Suku Jawa di Indonesia termasuk salah satu yang memiliki perhitungan kalender sendiri.

Kalender Jawa sampai sekarang masih sering dipakai untuk memperhitungkan hari baik dan buruk dalam kehidupan. Ada yang unik dari kalender Jawa karena sistem penanggalannya memadukan tiga budaya berbeda.

Mulai dari sistem kalender Hijriyah atau kalender Islam, kalender Hindu, dan kalender Julian yang dari budaya barat. Beginilah asal usulnya.

Baca juga: Wisata Coban Rondo, Air Terjun dan Kisah Legenda di Baliknya

Kalender Jawa diterapkan di Jawa, khususnya daerah yang termasuk kekuasaan Kerajaan Mataram

Sejarah Kalender Jawa, Terbentuk dari Perpaduan Tiga Budaya

(foto: surakartadaily)

Asal usulnya adalah dari Kerajaan Mataram pada tahun 1633 Masehi dan pencetusnya Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Bukan hanya di Kerajaan Mataram, tapi juga diterapkan di kerajaan lain di Jawa sebagai pecahan wilayahnya.

Daerah yang mendapat pengaruh kekuasaan Kerajaan Mataram memang menerapkan sistem penanggalan Jawa.

Sejak saat itu, memang sistem penanggalan Jawa sudah berlaku di Pulau Jawa kecuali di daerah Batavia, Banten, dan Banyuwangi.

Sistem penanggalannya punya dua siklus hari, yakni siklus mingguan dan siklus pekan pancawara.

Siklus mingguan dihitung selama tujuh hari (Minggu sampai Sabtu), sedangkan siklus pekan pancawara dihitung selama lima hari pasaran.

Jumlah harinya dalam sebulan sudah ditentukan, yakni 30 hari untuk bulan ganjil dan 29 hari untuk bulan genap.

Kalender Jawa memakai sistem pergerakan bulan seperti kalender Hijriyah dan melanjutkan kalender Saka

Sejarah Kalender Jawa, Terbentuk dari Perpaduan Tiga Budaya

(foto: kumparan)

Pada tahun 1633 Masehi atau 1555 Saka, Sultan Agung berupaya untuk menanamkan ajaran agama Islam di Jawa.

Salah satu jalannya adalah dengan cara mengeluarkan sebuah ketetapan yang mengganti penanggalan Saka yang berdasarkan perputaran Matahari menjadi kalender Islam yang berdasarkan perputaran Bulan.

Meskipun akhirnya juga memakai sistem pergerakan bulan sebagaimana halnya pada kalender Hijriyah, tapi angka tahun kalender Saka masih diteruskan.

Saat itu terhitung tahun 1555 Saka, kemudian angkanya dilanjutkan dan digantikan dengan 1555 Jawa.

Nama-nama bulan pada kalender Jawa adalah Sura, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Madirawal, Madilakir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Sela, Besar.

Sebenarnya sistem kalender Jawa cenderung mengikuti perhitungan Kalender Hijriyah, tapi ada sedikit perbedaan antara keduanya.

Berbeda dari kalender Hijriyah yang ditentukan oleh hilal, kalender Jawa sudah diperhitungkan sejak awal.

Baca juga: Raden Saleh, Pelukis Legendaris Indonesia yang Dikagumi Bangsa Eropa

Penamaan bulannya menggunakan bahasa Arab, Sansekerta, dan bahasa Jawa

Sejarah Kalender Jawa, Terbentuk dari Perpaduan Tiga Budaya

(foto: pinterest)

Penamaan bulannya ada yang pakai bahasa Arab menyesuaikan dengan nama bulan kalender Hijriyah, misalnya; Sapar (Shafar) dan Rejeb (Rajab). Ada juga nama bulan yang berasal dari Bahasa Sansekerta misalnya; Sura, Pasa, dan Sela.

Tapi ada juga nama bulan yang berasal dari Bahasa Jawa dan Melayu misalnya Besar. Di kalender Jawa  ada tiga tahun kabisat setiap satu windu atau delapan tahun, sedangkan di kalender Islam ada sebelas tahun kabisat setiap 30 tahun.

Khusus untuk tahun kabisat, bulan Besar yang terdiri dari 29 hari menjadi 30 hari. Efek dari perbedaan sistem tersebut terlihat setiap 120 tahun.

Terdapat satu hari yang harus dibuang supaya perhitungan dalam penanggalan Jawa tetap sama seperti kalender Hijriyah. Siklus sepanjang 120 tahun sekali tersebut kemudian dikenal dengan siklus kurup.

Dibuat sistem pranata mangsa untuk menjadi patokan petani yang bercocok tanam

Terbentuk dari Perpaduan Tiga Budaya

(foto: pinterest)

Kraton Yogyakarta dan Kraton Surakarta sempat tidak kompak dalam hal aturan membuang satu hari tersebut.

Kraton Surakarta sempat membuang satu hari pada tahun 1675 Jawa atau 1748 Masehi meskipun perhitungan waktu itu baru berjalan selama 74 tahun.

Pakubuwana V saat itu membuat keputusan karena ia merasa bahwa penanggalan Jawa sudah tertinggal 1 hari dibandingkan dengan Kalender Hijriyah.

Aturan tersebut baru dijalankan oleh Kraton Yogyakarta setelah mendapat perintah dari Sultan Hamengkubuwana VI tahun 1749 Jawa atau 1866 Masehi. Pada tahun 1856 Masehi juga dibuat bulan-bulan musim dengan patokan kalender Julian.

Sistem tersebut dipahami sebagai pranata mangsa yang kemudian diresmikan Sunan Pakubuwana VII. Sistem pranata mangsa dibuat lantaran patokan dari Kalender Hijriyah dipandang tidak lagi memadai untuk perkiraan waktu bercocok tanam.