Maret 29, 2024

Nama negara Suriname memang tidak semenarik negara Eropa atau Asia Timur yang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Suriname adalah sebuah negara yang terletak di Amerika Selatan.

Jauh dari nusantara, sebenarnya negara ini secara historis erat kaitannya dengan Indonesia. Hal ini dikarenakan adanya keturunan Jawa di tanah air.

Keberadaan keturunan Jawa di Suriname tidak lepas dari penjajahan Belanda di Indonesia. Jauh sebelum pemerintah Republik Indonesia mengirimkan puluhan ribu tenaga kerja Indonesia (TKI), pemerintah Hindia Belanda rupanya telah mengirimkan tenaga kerja ke Suriname, yang saat itu juga merupakan negara di bawah pemerintahan kolonial kerajaan Belanda.

Tinggal jauh dari kampung halaman dan terpisah dari sanak saudara, para pekerja Jawa ini harus berjuang dengan hidup mereka.

Selain dipaksa bekerja di bawah kekuasaan pemerintah kerajaan Belanda, mereka akhirnya menjadi bagian dari negara. Lantas, bagaimana sebenarnya sejarah keturunan Jawa di Suriname?

Baca juga: Operasi Woyla, Pembajakan Pesawat Hancur 3 Menit oleh Kopassus

Jauh dari rumah dan terpisah dari keluarga

Suriname, Jauh dari Nusantara Tapi Banyak Penduduk Keturunan Jawa

(foto: kompas)

Dari tahun 1890 hingga 1939, Pemerintah Kerajaan Belada dikatakan telah mengirim 32.956 orang dari Jawa ke Suriname. Tujuannya untuk menambah tenaga kerja di perkebunan-perkebunan di sana.

Perekonomian Suriname bergantung pada hasil kebun. Namun, akibat dihapuskannya sistem perbudakan pada 1 Juli 1863, praktis tidak ada personel yang mau mengurus perkebunan.

Di sisi lain, penduduk di Pulau Jawa juga mengalami kesulitan ekonomi akibat bencana letusan gunung berapi dan padatnya penduduk di Pulau Jawa.

Pertimbangan tersebut membuat Pemerintah Kerajaan Belanda bertekad untuk mengirimkan tenaga kerja ke negara-negara yang jauh dari nusantara.

Pengiriman pekerja pertama dilakukan pada tanggal 21 Mei 1890 dari Batavia dan tiba di Suriname pada tanggal 9 Agustus 1890.

Untuk memperingati kedatangan suku Jawa pertama, pemerintah Suriname menetapkan tanggal 9 Agustus sebagai hari libur nasional, tepatnya Hari Masyarakat Adat atau Hari Masyarakat Adat.

Menjadi buruh di perkebunan sampai berhak kembali ke tanah air

Suriname, Jauh dari Nusantara Tapi Banyak Penduduk Keturunan Jawa

(foto: boombastis)

Dilaporkan dari sejarah, para pekerja mendapatkan kontrak selama 5 tahun. Pekerja laki-laki dibayar 60 sen sedangkan pekerja perempuan dibayar 40 sen.

Hingga tahun 1930, pekerja Jawa bekerja di pertambangan tebu, kakao, kopi, dan bauksit. Mereka juga harus bekerja 6 hari seminggu. Setiap hari ia bekerja selama 8 jam di perkebunan dan 10 jam di pabrik.

Ketika kontrak selesai, pemerintah kolonial menawarkan 3 pilihan: masuk kontrak baru, menjadi petani di Suriname atau kembali ke Jawa. Sekitar 23,3% memutuskan untuk pulang.

Sisanya memilih untuk tidak pulang karena perjalanan 3 bulan dengan kapal terasa sangat melelahkan, akhirnya mereka memiliki anak dan sampai sekarang memiliki banyak keturunan di Suriname.

Hadapi diskriminasi sampai disebut malas dan tidak berguna

Suriname, Jauh dari Nusantara Tapi Banyak Penduduk Keturunan Jawa

(foto: koil)

Dilaporkan dari gulungan, Pada awal kehidupan di Suriname, para pekerja didiskriminasi oleh pemerintah kolonial. Mereka dicap ‘malas’, ‘mengganggu’ dan ‘tidak berguna’.

Label ini tak lain adalah status pekerja asal Jawa sebagai pekerja perkebunan. Mereka juga tidak mendapatkan pendidikan yang layak dan tidak memiliki hak pilih saat pemilihan anggota parlemen di Suriname.

Namun, diskriminasi yang dialami pekerja asal Jawa bersama pekerja asal India tidak menghentikan mereka untuk berkontribusi dalam pembangunan di Suriname.

di dalam buku Suriname Suriname Berbunga: Etnisitas dan Politik dalam Masyarakat Pluralsejarawan Edward Dew bahkan mengemukakan bahwa orang Jawa turut mempersatukan Suriname yang begitu beragam.

Baca juga: Kenali Ayana Moon Lebih Dekat, Jadi Mualaf & Selebriti Terkenal

Mengatasi diskriminasi dengan memperjuangkan hak melalui saluran politik

Suriname, Jauh dari Nusantara Tapi Banyak Penduduk Keturunan Jawa

(foto: tirto)

Orang Jawa di sana terseret ke dalam polemik identitas. Partai yang ada, yakni Surinaamse Hindoe Partij juga berganti nama menjadi Hindoe Javanase Politikej Partij. Pesta ini diisi oleh orang-orang keturunan India dan Jawa.

Ketika Indonesia sedang memperjuangkan kemerdekaan, mereka juga mendukung penuh saudara-saudaranya di Indonesia dengan harapan bisa kembali ke kampung halaman.

Di Suriname sendiri, mereka mendirikan berbagai organisasi. Iding Soemitra salah satunya, ia mendirikan Persatuan Indonesia pada tahun 1946. Salikin M. Hardjo juga mendirikan Persatuan Suriname Indonesia. Kedua organisasi tersebut mendukung kemerdekaan Indonesia dan Suriname.

Tidak hanya pada masa sebelum kemerdekaan, keturunan Jawa di Suriname juga memiliki pengaruh yang besar. Nama Raymond Sapoen yang menjadi calon presiden Suriname pada 2015 memang menghebohkan. Sapoen adalah cucu kuli kontrak dari Banyumas, Jawa Tengah.

Masih mencintai budaya leluhur meski sudah ratusan tahun tidak berhubungan langsung dengan pulau jawa

Suriname, Jauh dari Nusantara Tapi Banyak Penduduk Keturunan Jawa

(foto: Jawapos)

Meski para pekerja asli Jawa sudah tiada, keturunannya tetap mencintai budaya leluhurnya. Bahasa Jawa ‘ngoko’ masih digunakan oleh orang tua dan kalangan terbatas.

Tidak hanya bahasa, budaya Jawa juga menjadi favorit di sana. Seperti wayang kulit, wayang orang, tayub, karawitan, jaran kepang dan tari ludruk.

Sultan Hamengkubuwono X pernah mengirimkan seperangkat alat gamelan sebagai bentuk persaudaraan. Selain itu, penyanyi campursari legendaris Indonesia, Didi Kempot, juga dikenal dan lagu-lagunya menjadi favorit masyarakat Suriname.