Mei 1, 2024

Pernahkah Anda mendengar tentang Wali Songo? Wali Songo adalah lembaga dakwah Islam dari masa kerajaan di Indonesia.

Meski bernama Wali Songo yang berarti sembilan (dari bahasa Jawa), namun jumlah asli dan siapa sebenarnya identitas yang diwakili oleh nama tersebut masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan.

Selain itu, mungkin nama Sunan Gunung Jati sudah tidak asing lagi terdengar. Sunan Gunung Jati adalah nama salah satu wali yang sangat identik dengan penyebaran agama Islam di kota Cirebon.

Baca juga: Cham Muslim Etnis Vietnam, Hanya Sholat Sebulan Sekali

Merupakan persilangan antara Indonesia dan Mesir

Sejarah Sunan Gunung Jati, Wali Songo Ulama dari Cirebon

(foto: kompas)

Sejak zaman dahulu, sebenarnya sudah banyak orang Indonesia yang merupakan hasil perkawinan campuran. Sunan Gunung Jati adalah orang terkenal dari zaman dahulu yang juga seorang blasteran.

Dikutip dari Sunan Gunung Djati: Penyelenggara Keagamaan di Tanah Sunda (2020), nama aslinya adalah Syarif Hidayatullah, dan merupakan keturunan orang berpangkat tinggi.

Ia adalah keturunan Sultan Syarif Abdullah bin Ali Nurul Alim, dari perkawinan dengan Nyai Rarasantang, putri Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran.

Beberapa sumber sejarah menyebutkan bahwa ayah dari Sunan Gunung Jati adalah keturunan kerajaan dan seorang syekh sufi dari Mesir.

Tidak hanya dia lahir dari pernikahan campuran, tetapi kedua orang tuanya memegang posisi penting di negara bagian masing-masing pada saat itu.

Telah menjadi imigran sejak dia masih muda

Sejarah Sunan Gunung Jati, Wali Songo Ulama dari Cirebon

(foto: Jawapos)

Ketika ia masih muda, tempat tinggalnya tidak di Indonesia. Dia tinggal di Mesir, kemudian belajar tentang Islam di Mesir juga, kemudian hijrah dengan tujuan yang sama ke kota Mekkah pada usia 20 tahun.

Namun tidak berhenti sampai di situ, setelah Mekkah ia melanjutkan studi hingga Gujarat, India, dilanjutkan ke kerajaan Pasai (Aceh) hingga ke wilayah Indonesia lainnya.

Meski belum ada pesawat, keadaan saat itu tidak menghalanginya untuk menempuh perjalanan jauh untuk menuntut ilmu. Bersama ibunya, Nyari Rarasantang, dia akhirnya memulai dakwah di Jawa.

Mengemban amanah sebagai da’i sekaligus politisi di Cirebon

Sejarah Sunan Gunung Jati, Wali Songo Ulama dari Cirebon

(foto: radarcirebon)

Kehadirannya bersama sang ibu disambut baik oleh Pangeran Cakrabuana atau yang juga dikenal dengan Haji Abdullah Iman.

Kemudian mereka diperbolehkan untuk menetap dan membangun pesantren di kawasan pasumbangan Gunung Jati. Di sinilah ia mendapat julukan Sunan Gunung Jati sebelum mengemban amanah dakwah.

Tak hanya itu, ia dinikahkan dengan putri Pangeran Cakrabuana dan diangkat menjadi pangeran dakwah.

Kemudian, ketika Pangeran Cakrabuana meninggal, Sunan Gunung Jati diberi kepemimpinan Kesultanan Cirebon saat itu.

Dari sini, kiprahnya sebagai da’i sekaligus politisi semakin tajam. Masa pemerintahannya di Kesultanan Cirebon disebut juga dengan zaman ‘zaman keemasan’ perkembangan Islam di Cirebon.

Baca juga: Apa Itu Gatsbying, Kode Tersirat Naksir Media Sosial

Penyebaran pengaruh tidak hanya di daerah Cirebon

Sejarah Ulama Wali Songo dari Cirebon

(foto: historyofcirebon)

Pengaruhnya dalam dakwah tidak bisa dipandang sebelah mata. Seiring dengan kepemimpinannya di Kesultanan Cirebon, dakwahnya berhasil dikenal hingga ke Sunda Kelapa atau Jakarta pada masa lalu, Banten, Serang dan daerah lain di Jawa Barat.

Meski saat itu belum ada media sosial yang membuat sosoknya terkenal, namun popularitas dan pengaruhnya merambah ke luar Cirebon.

Dalam rangka memperluas penyebaran dakwah, ia juga menikah dengan Nyai Ratu Kawunganten, putri Bupati Kawunganten Banten, kemudian memiliki seorang putra yang kemudian menjadi Sultan Banten.

Tetap gigih dalam berdakwah sampai tua

Sejarah Ulama Wali Songo dari Cirebon

(foto: umroh)

Tidak seperti kebanyakan politisi saat ini yang cenderung bersaing di dunia pemerintahan sampai titik darah penghabisan, ia tidak menunggu hingga akhir hayatnya untuk mengambil alih pemerintahan Kesultanan Cirebon.

Meski karirnya sebagai pendakwah dan Sultan cukup cemerlang, ia memilih mengundurkan diri pada usia 89 tahun dari Kesultanan Cirebon, kemudian menghabiskan sisa hidupnya menekuni dunia dakwah.

Disebutkan dalam beberapa sumber sejarah bahwa usianya mencapai sekitar 118-120 tahun dan diperkirakan meninggal pada tahun 1568 M, kemudian dimakamkan di Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Cirebon.